script src='http://ajax.googleapis.com/ajax/libs/jquery/1.3/jquery.min.js' type='text/javascript'/>

Elva cute

Selasa, 15 Desember 2009

PIDATO ENGLISH DAN CERITA PENEKIO

Pidato English
We observe today not a victory of party but a celebration of freedom—symbolizing an end as well as a beginning—signifying renewal as well as change. For I have sworn before you and Almighty God the same solemn oath our forebears prescribed nearly a century and three quarters ago.

The world is very different now. For man holds in his mortal hands the power to abolish all forms of human poverty and all forms of human life. And yet the same revolutionary beliefs for which our forebears fought are still at issue around the globe—the belief that the rights of man come not from the generosity of the state but from the hand of God.

We dare not forget today that we are the heirs of that first revolution. Let the word go forth from this time and place, to friend and foe alike, that the torch has been passed to a new generation of Americans—born in this century, tempered by war, disciplined by a hard and bitter peace, proud of our ancient heritage—and unwilling to witness or permit the slow undoing of those human rights to which this nation has always been committed, and to which we are committed today at home and around the world.

Let every nation know, whether it wishes us well or ill, that we shall pay any price, bear any burden, meet any hardship, support any friend, oppose any foe to assure the survival and the success of liberty.

This much we pledge—and more.























Dua Cerita tentang Boneka Kayu ( Penekio )



LIDAH Api bercerita padaku:
Tersebutlah lima sekawan maling yang paling lihai di jamannya; Sekti, Sandi, Dekah, Pratingkah dan Sapujangkah. Sekti menguasai seribu lagu yang sanggup menidurkanmu. Sandi memiliki tubuh seringan kapas sehingga mampu melangkah di atas tubuhmu tanpa kamu sadari. Dekah mempunyai penciuman yang tajam sehingga barang berharga apa pun yang kamu punyai bisa diendusnya. Pratingkah dikaruniai telinga yang sanggup mendengar gerakan sekecil apa pun yang kamu lakukan. Sedangkan Sapujangkah, ia jago membuka seluruh pintu dan jendela rumahmu tanpa meninggalkan suara dan bekas. Lengkap sudah lima sekawan yang tak terkalahkan oleh satpam atau peronda kampung mana pun.
Pada satu malam yang paling menidurkan mereka berhasil membawa kabur sebuah harta yang tak ternilai harganya, boneka kayu bidadari yang menangis, dari museum kota. Saking gembiranya mereka buru-buru merayakan keberhasilan kerja malam itu tanpa bisa bersabar menunggu sampai di rumah. Di sebuah sudut kota yang remang mereka bergantian menimang boneka kayu sebesar manusia itu. Tak seorang pun dari mereka yang bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Boneka kayu berwujud perempuan cantik dengan rambut panjang terurai yang tengah menangis itu telah menghantui tidur mereka sejak kanak-kanak. Cerita tentang bidadari yang menangis karena kehilangan sayapnya telah tertanam begitu dalam di dalam kepala mereka, juga mungkin seluruh penduduk kota ini. Dan kini boneka kayu yang dipercaya sebagai penjelmaan bidadari yang menangis itu bisa mereka sentuh, peluk dan bahkan cium berulang kali. Mereka benar-benar mabuk kemenangan, satu hal yang mereka hindari sejauh ini. Mereka mabuk dan membiarkan malam berlalu dengan cepat. Tahu-tahu sudah pagi.
Lima sekawan tersadar mereka sedang menghadapi bahaya besar. Satpam-satpam museum tentu sudah bangun dari tidurnya dan melompong mendapati lemari kaca boneka kayu telah kosong. Polisi-polisi tentu sedang bergerak mengikuti jejak mereka. Sementara boneka kayu itu belum mendapatkan tempat persembunyian yang aman. Naluri yang sudah terlatih sedemikian lama segera bekerja mencari jalan keluar. Mereka bergerak dengan cepat dan acak sambil mengumpulkan sebanyak mungkin kemungkinan untuk selamat.
Boneka kayu itu lekat dalam gendongan Sandi. Maka jika kamu berpapasan dengan mereka di salah satu jalan kota, kamu akan mengira mereka berenam. Sesosok bayangan hitam, tentu saja bukan kamu, tanpa mereka sadari, menguntit diam-diam.
Kini mereka mengendap-endap di halaman rumah sakit. Lantas melompati pagar dan menyusuri selasar-selasar. Bayangan hitam tak ketinggalan. Ia menyusur selasar-selasar yang lain, seperti menduga-duga ke mana lima sekawan itu menuju.
Di ujung sebuah selasar lima sekawan menghentikan larinya. Mereka berhenti persis di depan pintu kamar mayat. Tanpa mereka sadari bayangan hitam telah menunggu di dalam sejak beberapa saat sebelum mereka tiba di sana. Lima sekawan segera menyelinap melalui pintu yang setengah terbuka. Dalam remang empat mayat nampak berjajar kaku di ranjang. Tak ada siapa-siapa di dalam kamar seluas lima kali enam meter itu. Sandi segera menurunkan boneka kayu dan meletakkannya di samping mayat-mayat tersebut. Dekah mengeluarkan goloknya dan menandai jidat mayat yang paling dekat dengan boneka kayu mereka dengan beberapa sayatan yang lumayan dalam dan sobekan yang lumayan lebar. Dalam remang, dan dalam kepanikan, mereka tak memperhatikan betapa mayat yang mereka sayat jidatnya berkerenyit menahan sakit. Lima sekawan itu saling tatap dengan perasaan lega. Mereka merasa boneka kayu tersebut telah berada di sebuah tempat yang aman. Maka mereka pun pergi dengan perasaan nyaman. Nanti malam mereka akan datang lagi mengambil harta mereka.
Sepeninggal mereka, mayat yang terluka jidatnya segera bangkit dan membawa pergi boneka kayu itu. Dialah Si Celung, maling kelas teri yang sedari tadi menguntit gerak-gerik lima sekawan. Ia pergi membawa pergi harta terbesar yang pernah didapat sepanjang hidupnya meski dengan kehilangan sebagian kulit jidat. Celung sampai di rumah ketika pagi belum benar-benar jadi dan segera mengunci diri sepanjang hari demi keamanan. Sepanjang hari itu pula ia mengagumi keindahan dan kecantikan bidadari yang menangis sembari menahan sakit di kepalanya.
Tentu saja lima sekawan maling kenamaan seperti disambar petir ketika mengetahui boneka kayu telah raib dari tempatnya. Malam itu mereka hanya menemukan tiga orang mayat. Mereka pun segera tahu bahwa mayat keempat adalah durjana yang mengambil boneka kayu. Sekti segera mengusulkan supaya mereka menyebar dan mengawasi seluruh apotik yang ada di kota itu. Si Keparat itu tentu akan membeli obat buat menyembuhkan luka di jidatnya. Sandi, Dekah, Pratingkah dan Sapujangkah menyebar ke empat arah. Sedang Sekti, ia pulang dan menangis sepanjang hari. Menangisi bidadari yang menangis.
Dan benar seperti dugaan Sekti. Pagi berikutnya Si Celung melenggang kangkung ke salah satu apotek yang paling dekat dengan rumahnya. Sapujangkah yang tak asing lagi dengan luka di jidat Celung segera mengikuti buron itu sampai di rumahnya. Setelah itu ia mengumpulkan ketiga rekannya yang lain dan bersama-sama menggerebek rumah Si Celung hari itu juga. Celung tak bisa menghindar dan merelakan tubuhnya dihajar hingga babak belur. Dan tentu saja harus merelakan boneka kayu tercintanya kembali ke tangan lima sekawan.
Di rumah Sekti, lima sekawan itu kembali merayakan kemenangan yang pernah hilang sebentar. Tapi sebentar kemudian persoalan lain segera muncul tanpa sabar menunggu lebih lama lagi. Masing-masing maling itu merasa paling berhak untuk memiliki boneka kayu. Masing-masing memunculkan pembenarannya dan tak mau berbagi satu sama lain. Masing-masing telah mencabut senjata dari sarungnya.
LIDAH Api bertanya padaku:
Dari kelima maling sakti itu siapakah yang sesungguhnya paling berhak memiliki boneka kayu?
DAUN sirih bercerita padaku:
Adalah sebatang kayu nangka sebesar manusia yang tergeletak di tepi jalan. Tak ada yang tahu sejak kapan ia berada di sana. Tak ada yang tahu atas alasan apa ia berada di sana. Juga tak seorang pun yang tahu siapa yang meletakkannya di tepi jalan begitu saja. Tahu-tahu ia sudah berada di sana, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari badan jalan, menjadi bagian yang selalu terlewatkan para pejalan.
Sampai suatu ketika seorang tukang kayu yang kebetulan lewat jatuh kasihan padanya. Siapa yang telah menyia-nyiakan karunia alam? Lelaki itu lalu memahatnya menjadi sesosok tubuh perempuan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya ia kembali melanjutkan perjalanan. Kelak jika kembali melewati jalan itu ia berencana membawa pulang patung kayu itu. Ia melukai sebatang pohon yang terdekat sebagai tanda.
Kembali sebatang kayu nangka yang kini telah menjelma menjadi patung kayu perempuan yang seperti tertidur di tepi jalan itu sendirian dan tak terperhatikan. Paling-paling hanya satu dua pejalan berhenti sebentar untuk mengagumi keindahan tubuhnya, selebihnya ia sama tak bernilainya dengan rumputan liar yang tumbuh di sekitarnya.
Sampai suatu ketika seorang pelukis yang kebetulan lewat jatuh kasihan padanya. O, betapa pucatnya tubuh ini. Dibersihkanlah jamur dan lumut dan disungginglah patung kayu perempuan yang tertidur itu dengan warna. Kini patung kayu itu telah serupa dengan manusia. Setelah berjanji kembali untuk membawanya pulang, lelaki itu melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat ia mengecat luka yang ditinggalkan Si Tukang Kayu di sebatang pohon.
Kembali sebatang kayu nangka yang kini mampu membuatmu jatuh cinta itu tak bertuan. Hanya panas dan hujan yang menyapanya bergantian. Dan ia terus tidur, telanjang, diselimuti rumputan.
Sampai suatu ketika saudagar pakaian yang kebetulan lewat jatuh kasihan padanya. Perempuan cantik, kau telah menanggung malu dan kedinginan begitu lama. Ditutupinya tubuh molek yang telanjang itu dengan pakaian dagangannya. Hingga tak seorang pun kini mengira perempuan yang tertidur di tepi jalan itu dulu-dulunya adalah sebatang kayu nangka. Saudagar itu melanjutkan perjalanannya setelah membebat luka berwarna merah yang ditinggalkan Si Pelukis di sebatang pohon dengan kain berwarna biru.
Kembali sebatang kayu nangka yang kini bisa tumbuh dengan subur dalam kepalamu itu kesepian. Anehnya, tak seorang pun pejalan berani melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar mengagumi kecantikannya sejenak dan kembali melanjutkan urusannya. Mungkin benar perempuan yang tertidur itu bukan urusannya. Mungkin mereka mengira karya yang luar biasa itu sengaja diletakkan di sana oleh pemiliknya untuk suatu saat diambil kembali.
Sampai suatu ketika seorang perajin emas yang kebetulan lewat jatuh kasihan padanya. Mungkin kau akan kelihatan lebih anggun lagi dengan beberapa perhiasan di tubuhmu. Dihiaslah boneka yang rupawan itu dengan beraneka perhiasan emas yang dibawanya. Perempuan yang tertidur di tepi jalan itu semakin bercahaya. Kecantikannya tertandai dengan tepat dan tajam layaknya bintang dalam kegelapan malam. Perajin emas itu pun segera melanjutkan perjalanan setelah menyematkan sebuah kancing emas di kain biru yang ditinggalkan Si Saudagar Kain di sebatang pohon.
Kembali sebatang kayu yang kini sanggup membuatmu terhibur di saat-saat sedih itu sebatang kara. Sebesar apa pun keinginan orang untuk memilikinya tak membuat mereka berani menjamahnya, apalagi membawanya pulang ke rumah. Mereka merasa tak berhak bahkan hanya untuk menginginkannya. Sementara mereka yang bergantian menumbuhkannya dari hanya sekadar sebatang kayu nangka menjadi boneka kayu yang luar biasa indahnya belum juga kembali untuk membawanya pulang.
Sampai suatu ketika seorang dewa yang kebetulan lewat jatuh kasihan padanya. Kau tentu ingin bergerak dan berbicara sesuka hatimu, bukan? Kau ingin merasakan pahit manisnya hidup sebagai manusia? Maka dewa itu pun menghembuskan nafas kehidupan ke dalam tubuhnya. Boneka kayu yang selama ini jatuh dalam kebekuan dan kebisuan itu mulai membuka matanya, menggerak-gerakkan bibir dan jemari tangannya, dan perlahan bangkit dari tidur panjangnya. Kini perempuan cantik itu berdiri dengan rapuh di tepi jalan. Si Dewa telah pergi, melanjutkan pengembaraannya.
Perasaan pertama yang segera dirasakannya adalah kekosongan. Benih kesepian yang panjang seperti sudah tertanam lama di dalam hatinya. Dan kini kesepian, yang begitu panjang, mendedah keluar dari cangkangnya tanpa bisa dicegah, tumbuh tanpa bisa dibunuh. Lalu dengan cepat, serupa gulma, ribuan pertanyaan berbiak di dalam kepalanya. Siapa aku? Kenapa aku? Bagaimana aku? Ribuan tanda tanya berpusingan di semestanya, membuat tubuhnya yang masih rapuh itu kembali terjatuh ke tanah.
Ia seperti diserang demam. Suhu badannya meninggi. Bibirnya bergetar. Ia mulai mengigau. Para pejalan yang kebetulan lewat segera berhenti dan berkerumun di sekelilingnya, berusaha menolong tapi tak bisa. Mereka mulai mencari asal-usul perempuan yang malang tersebut. Mungkin dengan begitu mereka akan bisa mengantarnya pulang atau mengabarkan kesakitan yang dideritanya pada kerabat-kerabat dekatnya.
Sudah berhari-hari tapi tak seorang pun bisa melacak masa lalu perempuan itu. Hanya berita tentang seorang perempuan yang menderita sakit di tepi jalan yang berhasil disebarkan para pejalan. Sehingga, meski terlambat, kabar itu didengar juga oleh Si Tukang Kayu, Si Pelukis, Si Saudagar Pakaian dan Si Perajin Emas. Keempat-empatnya seperti diingatkan pada sebuah janji yang belum dipenuhi. Mereka bergegas kembali ke tempat di mana dulu mereka meninggalkan janji.
Akhirnya mereka bertemu di tempat itu dan berebutan menolong Si Perempuan. Tak ada satu pun yang mau mengalah. Mereka sama-sama mengaku menjadi suami dari Si Perempuan. Mereka sama-sama memiliki tanda pada sebatang pohon di dekat tempat Si Perempuan terbaring sakit.
DAUN sirih bertanya padaku:
Siapakah sesungguhnya yang paling berhak mendapatkan perempuan itu? Si Tukang Kayu yang telah membentuk perempuan itu, atau Si Pelukis yang menyempurnakan bentuk perempuan itu, atau Si Saudagar Pakaian yang telah menutup aurat perempuan itu, atau Si Perajin Emas yang telah memuliakan perempuan itu.
Atau malah Si Dewa yang telah memberi nafas kehidupan pada perempuan itu.***
Yogyakarta, Februari 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar